THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

IluvIndonesia

Kamis, 09 Juni 2011

Cerpen Part 1

Hai, kawan.. :)
Menulis itu menyengkan ketika semangat membara.. Ini salah satu contoh karya Sei .. =)
Mohon masukannya .. ^_^

Perdebatan di Angkringan

Tok tok tok petoook..... Tok tok tok petook.... U u u u’...... Teng teng teng teng teng teng teng.........
Nyanyian ayam-ayam belakang sekolah tertelan bunyi lonceng pertanda pelajaran hari itu usai. Murid-murid SMA berhamburan ke luar kelas. Sebagian besar menuju tempat parkir sepeda. Ada yang menuju ke masjid sekolah, perpustakaan, kamar mandi dan asana. Beberapa perempuan masih asyik curhat di dalam kelas. Ada pula yang menunggu jemputan di serambi depan dekat piket sambil bercanda satu-sama lain. Seperti biasa, Antok dan sahabat-sahabatnya ke luar kelas belakangan.
“Djokja, Djokjaa! Saben dina kok yen panas, panas tenan, yen adem yo adem banget!” kata Heru sambil mengibas-ngibaskan topi dan melihat ke langit dari ujung ke ujung.
“Iya je. Hari ini juga panas. Cari minum, Rek!” kata Nado sambil mengusap peluh di wajah dan lehernya.
“Sumuk! Sumuk tenan!” sahut Heru.
“Wis ta! Jangan pada mengeluh! Bersyukur gitu, Allah masih memberi kita kehidupan. Juga, inget ya, kalo nggak ada matahari, pakaian kita nggak kering, tumbuhan nggak bisa idup, trus kalo nggak ada tumbuhan kita makan apa? Siapa yang menyerap air untuk kehidupan makhluk hidup? Nah loh..?” Una mencoba mendinginkan suasana.
“Jreng....jrengjreng....jreng...jreng...” Antok bersenandung geje.
“Eh, kawan kawan kawan kawan, ke angkringan saja yuk! Kita cari minum dan makan.” ajak Ijah ketika mereka berjalan meninggalkan sekolah.
“Boleh, boleh! Di mana? Tempat Mang Ujang, Kang Sarwo atau Pak Kumis Angkrink?” Una merespon dengan semangat.
“Hmm... Mana ya?”
Ijah masih berpikir ketika Heru menyahut, “Pak Kumis Angkrink waelah, dab! Wo’o’oke?”
“Yo’i! Enak tur murah. Haha..” sambung Nado dengan cepat.
Kini langkah mereka mulai terarah. Antok, Nado, Heru, Una dan Ijah berjalan menuju angkringan Pak Kumis Angkrink, salah satu angkringan favorit mereka. Jaraknya hanya beberapa ratus meter dari sekolah. Gerobak Pak Kumis berada di bawah pohon beringin yang besar. Tempatnya yang teduh, makanan dan minuman bervariasi serta harganya yang murah membuat 5 sahabat ini betah di sana.
“Es jeruk 5, Pak Kum! Mboten ngagem sambel, merica, tigan, mentega, uyah, aaa.....” teriak Antok setibanya di sana.
Belum selesai Antok mengarang, Ijah menambahkan, “Makanannya seperti biasa ya, Pak.”
“Woke, dab!” sahut Pak Kum singkat.
“Emangnya kita mau bikin roti, Tok? Pake telur mentega segala.” kata Una.
“Sapa ngerti bapake ngasih bonus. Weeeek..” jawab Antok dengan nada mengejek sambil menjulurkan lidahnya ke arah Una.
“Huuh, kamu!” kata Una.
“Eh, mbok gorengane ditutup, dab! Mengko ndak diparani laler.” kata Heru menyela.
“Dab, aku dadi kelingan beritane wingi. Ngomonge Faceblack arep ditutup jal!” Antok menyambung pembicaraan.
“Hah? Faceblack? Faceblack, dab? Faceblack sing jejaring sosial kae pa? Huwadyuh!” lebaynya Heru keluar.
“Apa benar itu, Antok?” tanya Ijah.
“Halah, cuman hoax itu.” Nado menanggapi.
“Hoax? Apa lagi itu?” tanya Ijah dengan wajah polosnya.
“Hoak kuwi rak papan kanggo dodol barang bekas ta?” Antok belajar nyeleneh, namun usahanya gagal.
“Ha-ha-ha.. Lucu yo!” ledek Heru yang sebenarnya juga tidak tahu apa itu hoax.
“Hee.. Bukan. Hoax itu kabar yang tidak benar.” Jelas Una.
“Puinterr kamu, Na! Jadi, hoax itu kabar burung-lah bahasane.” kata Nado membenarkan.
“Oooo....” kata mereka berempat hampir bersamaan.
“Tapi ngomonge nggon website Faceblack arep ditutup, Nad! Aku ora terima sih.” Antok masih berusaha mengorek kebenaran.
“Kowe ndelok ana ngendi kuwi?” tanya Nado.
“Pas neng warnet ta, nganggo apaa ngono jenenge, lali aku. Karo Heru wektu kuwi. Ha’a ta, Ru? Nggon web-lah pokoke.” jawab Antok.
“Apa yah?” kata Heru.
“Lah, tapii...” Nado hendak menjelaskan alasannya, namun terpotong oleh yang lain.
“Aku pernah denger Zulkarbek kesulitan mengurus Faceblack.” kata Una.
“Kalau menurutku ya teman-teman, nggak mungkin ditutup. Soalnya....” Ijah memotong jalan dengan berlagak pandai.
Ini dia makanannya. Selamat menikmati.” kata Pak Kum ramah.
“Terima kasih, Pak” jawab dengan lembut oleh Ijah.
“Eeh, bisa saja lho ditutup karena banyak maksiatnya!” Antok ikut-ikutan menyela.
“Hey, hey, hey... Aku mau ngomong kalau Faceblack itu............” Nado geregetan ingin mengeluarkan apa yang ada di pikirannya.
Pada saat mereka sedang sibuk-sibuknya berdebat tentang Faceblack, seorang pengamen lewat di depan mereka. Dia tidak begitu jelas statusnya, antara wanita dan lelaki. Pengamen berdandan layaknya wanita ini akrab dipanggil Mbak Bunci. Belum sempat dia bernyanyi pada kelima sabahat itu, pikirannya terusik dengan obrolan mereka.
“Hadyuuuh.... Kalian ini pada ngomongin Faceblack ya? Tau nggak sih, Faceblack mau dituutup bulan depaaan.. Aduuh, repotnyaaa!” kata Mbak Bunci menimbrung.
“Aah.. Cuma hoax itu, Rek!” Nado tetap bersikeras pada pendapatnya.
“Aduuuh.. Apa buktinyaa?” Mbak Bunci juga ngeyel.
Yang aku tahu ya, Mas. Eh salah, Mbak.. Berita tentang Faceblack yang ditutup itu bukan berasal dari situs resmi Faceblack, melainkan dari web lain. Kalo yang mbikin Faceblack mau nutup, ngapain pake nyuruh orang buat menyiarkan pada khalayak luas di webnya? Napa nggak langsung dari Faceblack aja?” akhirnya Nado bisa mengeluarkan uneg-unegnya.
“Iya ya..” kata Ijah.
“Ya mungkin aja sih..” kata Una. “Tapi, aku setuju-setuju aja kalau Faceblack mau ditutup. Banyak dampak negatifnya tau’..” sambung Una.
“Aduuuuh… Mbak bisa pusing atuh Dek kalau Faceblack ditutup. Ntar Mbak pake apa dong nyari gebetannyaaa?” sambut Mbak Bunci dengan manja.
“Nah itu, kenapa sih Faceblack cuma dijadi’in ajang nyari gebetan? Buat maksiat doang tah?” Una menanggapi.
“Iya, banyak yang memakai foto, info, status palsu dan lain-lain. Awalnya ngajak kenalan lewat chatting, pesan pribadi, atau pesan dinding. Habis itu minta nomer hp dan endingnyaa….” Ijah bercurcol.
Heru yang dari sibuk dengan makanannya, tiba-tiba menyambung pembicaraan, “Ngajak ketemuan! Haha..”
“Weh, kayak udah berpengalaman kamu, Ru!” kata Antok.
“Nggak yo! Enak aja!” Heru tidak terima.
“Wooo… Heruu…” kata Nado, Una dan Ijah hampir bersamaan.  Kemudian mereka tertawa.
Kan ngeri tuh kalo kayak gitu..” kata Una lagi.
“Eh, nanging ana sisi positife lho!” kata Heru.
“Iyalah..” kata Nado.
“Apa jal?” kata Antok.
“Silaturahmi terjaga, nambah jaringan, ngerti event-event update, tur ora gaptek.” kata Heru sambil tersenyum.
Mbak Bunci yang nggak nyambung, mendadak marah nggak jelas, “Pokoknya, eke nggak setuja kalo Faceblack ditutup! Titik!”
“Slow, Mbak.. Slow!” kata Ijah mencoba menenangkan.
Suasana seketika berubah mencekam. Kemarahan Mbak Bunci yang tidak jelas paling ditakuti orang-orang yang sudah mengenalnya. Nado dan kawan-kawannya bingung. Selain Nado tidak ada yang berani menanggapi kata-kata Mbak Bunci. Perang mulutpun meledak. Nado dan Mbak Bunci saling mempertahankan pendapatnya. Nado yang memang pandai dalam dunia IT alasannya selalu logis dan tepat, sedangkan Mbak Bunci hanya mempertahankan ego yang kekanak-kanakan. Pertengkaran itu berhasil membunuh waktu 30 menit.
Una akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. Dia melerai mereka dengan mengingatkan bahwa perbuatan mereka itu tidak ada gunanya. Bertengkar tidak akan menyelesaikan masalah. Padahal Una sudah menyampaikannya secara santun, namun usahanya gagal.
Angin berhembus membelai kulit mereka. Sejenak membuat napas kembali santai. Daun beringin berjatuhan di meja makan. Tissue milik Ijah terbang tertiup angin, namun ia hiraukan. Pandangan Ijah dan kawan-kawannya tertuju pada Mbok Jamu Gendong (Mbok JaNdong) yang melintas. Ternyata Mbok Jandong berniat mampir ke angkringan Pak Kum setelah melihat remaja-remaja yang berkumpul di angkringan. 
“Aee… Ana apa ta pada ngumpul na kene? Ayo, ayoo pada ngombe jamu!” sapa Mbok Jandong dengan gayanya yang enerjik dan berjiwa muda (padahal sudah 30 tahun!) biasanya menarik para remaja untuk membeli jamunya. Yah, paling tidak untuk mencicipinya. Hehehee..
“Eh, Mbok! Ini lho anak-anak, pada pengen Faceblack ditutup!” kata Mbak Bunci yang salah paham.
“Weh, Mbak aja yang salah paham! Orang nggak pengen ditutup juga’!” Nado menanggapi.
“Lho, kowe nganggo earphone ta, Mbak?” tanya Mbok Jandong pada Mbak Bunci.
“Woolah kuwi! Merga kuwi ta, njenengan salah paham. Ckckckck..” kata Antok. Teman-teman yang lain menyetujui.
Setelah itu mereka bercerita secara bergantian pada Mbok Jandong. Walaupun orang Jawa dan berasal dari desa, Mbok Jandong tidak gaptek. Dia mengerti dan segera mengambil langkah cepat, handphone.
“Halo, Mas, would you like to come to Jogja? Yes, here. In…. Angkringan near Pakualaman. Ngerti ta? Okewoke, I wait you! Thanks much!”
Nado, kawan-kawannya dan Mbak Bunci terbengong-bengong. Mereka merasa tidak percaya atas apa yang baru saja mereka lihat. Mbok Jandong berbicara dengan Bahasa Inggris? Tapi kok campuran sama Bahasa Jawa?
“Aku udah telpon Mas Zulkarbek (pembuat Faceblack). Tunggu wae, dilit maneh dheweke ndene.” kata Mbok Jandong dengan santainya.
Beberapa saat kemudian Si pembuat Faceblack tadi datang. Sebuah limousine berwarna perak dengan kaca yang gelap berhenti di depan mereka. Seseorang berjas hitam dengan kacamata yang hitam pula tampak keluar lebih dulu. Dia membawa alat aneh –mungkin detector bom- dan gerak-geriknya mencurigai apapun di sekelilingnya. Sesaat kemudian dia memberi tanda aman. Kemudian seseorang berkemeja biru keluar dari limousine.
Orang-orang di angkringan Pak Kum heran. Mereka menghentikan pekerjaannya. Begitu juga Nado dan kawan-kawan, masih menikmati kebingungannya.  Sesaat kemudian Mbok Jandong mengakhiri kebingungan mereka.
“Hai, dab! Pakabar? Iki kanca-kancaku. Sekarang kamu jelasin ke mereka.” sapa Mbok Jandong pada Zulkarbek.
Zulkarbek ternyata diminta tolong oleh Mbok Jandong untuk memberi klarifikasi kepada mereka yang berdebat. Keterangan langsung dari Zulkarbek diharapkan dapat meyakinkan mereka. “Jadi, sebenarnya…” kata Zulkarbek dengan logat yang aneh. Sebenarnya Zulkarbek tidak pernah berniat menutup Faceblack. Berita itu hanya hoax. Alasan Nado benar, seharusnya kalau Faceblack akan ditutup, beritanya tersebar secara langsung kepada pengguna Faceblack, bukan melalui situs lain.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Zulkarbek, mereka akhirnya saling mengintrospeksi diri. Suasana menjadi hening. Sesaat kemudian mereka bermaaf-maafan. Tentunya mereka merasa lega karena telah mengetahui kebenaran atas apa yang mereka perdebatkan, namun kebingungan masih terlukis di wajah mereka. Mengenai mengapa Mbok Jandong bisa mengenal Zulkarbek yang notabene pembuat Faceblack, masih menjadi misteri…

Nur Fitriatus Shalihah
MAN Yogyakarta 1
Kelas X.E

0 comments: